Lima gadis yang menari gemulai sembari menabur bunga melati ke penjuru ruangan keraton diiringi doa dengan lirik Jawa mewarnai Grebeg Kupat sebagai tradisi leluhur dan wujud syukur/foto: istimewa |
KENDAL-
Kidung doa empat kiblat mengalun syahdu di Joglo Saridin, Keraton Kawitan
Amarta Bumi, Desa Margosari, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal, Sabtu
(23/6) malam. Doa dengan lirik Jawa terus dilantunkan mengiringi lima gadis
yang menari gemulai sembari menabur bunga melati ke penjuru ruangan keraton.
Ritual doa empat kiblat tersebut menjadi penanda
dimulainya Grebeg Kupat 1439 Hijriah di Keraton Amarta Bumi. Usai doa
dilantunkan, sembilan penari bedaya nawa tirta membawakan tarian sakral
tersebut dengan lembut dan anggun di depan raja, keluarga dan kerabat Keraton
Amarta Bumi, Sekda Provinsi Jateng Sri Puryono KS MP, Wakil Bupati Kendal,
Masrur Masykur, Forkompincam, tokoh agama, serta masyarakat sekitar.
Tradisi tahunan yang digelar setiap perayaan Hari
Raya Idul Fitri ini, diawali dengan mengarak dua gunungan yang berisi kupat dan
lepet serta aneka hasil bumi. Arak-arakan gunungan diikuti oleh seluruh
keluarga dan kerabat keraton termasuk prajurit dan abdi dalem, serta para tamu
undangan. Hanya diterangi obor bambu, rombongan kirab gunungan berjalan kaki
dari pendapa keraton menuju Joglo Saridin yang berada di komplek keraton atau
biasa dikenal dengan Kampung Jawa Sekatul.
Bangunan khas Jawa kuno dengan atap, penyangga,
dinding, hingga lantai terbuat dari kayu jati tua itu menjadi tempat
diselenggarakannya tradisi leluhur yang setiap tahun digelar Keraton Amarta
Bumi. Mengenakan busana adat Jawa, Sri Anglung Prabu Konto Joyonegara Cakra Buana
Giri Natha beserta keluarga dan para tamu, mengikuti berbagai ritual grebeg
dengan khidmat. Grebeg kupat ditutup dengan berebut gunungan oleh seluruh
peserta acara dan warga.
Sekda Jateng Dr Ir Sri Puryono KS MP menyampaikan,
acara tahunan yang diselenggarakan setiap Syawal ini merupakan wujud syukur
kepada Allah atas anugerah dan karunia-Nya. Setelah berpuasa Ramadan selama
sebulan penuh, kemudian mengarak gunungan ketupat dan aneka hasil bumi yang
sarat makna.
Ketupat yang orang Jawa menyebutnya kupat mempunyai
arti "ngaku lepat" atau mengaku bersalah kemudian meminta maaf kepada
sesama. Selain itu kupat juga mempunyai arti empat "L", yaitu lebar
atau telah selesai beribadah puasa, luber yakni mudah memafkan terhadap sesama,
lebur atau saling memaafkan, dan labur yang memiliki arti kembali putih.
"Apa yang dilakukan Keraton Amarta Bumi ini
sangat bagus, karena tidak semua dapat melakukan ini. Acara seperti ini salah
satu upaya mengangkat budaya tradisional,' terang Sekda usai acara grebeg
kupat.
Sekda menjelaskan, tradisi Grebeg Kupat merupakan
salah satu wujud berkepribadian dalam kebudayaan. Hal itu seperti yang
disampaikan Presiden pertama RI, Ir Soekarno mengenai Tri Sakti, bahwa bangsa
Indonesia harus berdaulat dalam politik, berdikari di bidang ekonomi, serta berkepribadian
dalam kebudayaan.
"Grebeg kupat ini salah satu bentuk
berkepribadian dalam kebudayaan. Tradisi warisan leluhur ini sangat baik
dilaksanakan dan lestarikan karena nguri-nguri kebudayaan daerah,"
bebernya.
(marni/puji)