Abdul Haris Nasution/foto: istimewa
JIKA bicara soal serdadu yang melek akan dunia literasi, maka pikiran kita pasti akan tertuju pada Jenderal Abdul Haris Nasution. Seorang militer angkatan 45 yang tak terkalahkan dalam hal menulis buku. Kurang lebih 11 jilid buku dan beberapa jilid memoar berhasil ditulisnya, ia juga menulis sejarah militer Indonesia.
Selain A.H.Nasution ada pula serdadu yang gemar akan literasi, Mayor Jenderal Suhario Padmodiwiryo alias Hario Kecik. Ia dikenal sebagai Jenderal yang telah menulis berjilid-jilid buku Pemikiran Militer dan beberapa jilid Memoar Hario Kecik.
Namun yang membedakan Hario Kecik dari Nasution adalah ia menulis sejumlah novel sejarah dan skenario film. Selain itu, Hario Kecik juga sangat blak-blakan menulis dirinya dan kolega-kolega seperjuangannya. Maklum, bagaimanapun Hario Kecik adalah Arek Suroboyo.
Pria kelahiran Surabaya pada 12 Mei 1921 tak pernah ragu dalam menulis hal-hal miring tentang koleganya. Sebagai contoh, dalam Memoar Hario Kecik: Autobiografi Seorang Mahasiswa Prajurit (1995) dan Pemikiran Militer 3: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia (2010:18-20), ia melaporkan hasil penyelidikannya bahwa perusahaan minyak asing, Shell, punya hubungan dengan orang-orang di Staf Umum Angkatan Darat.
Oleh karena tulisan-tulisanya yang terkesan “pedas”, Hario Kecik pun dicap sebagai orang kiri oleh pemerintah Orde Baru, terlebih ia dituduh bertanggung jawab atas pembersihan kaum feodal di Kalimantan pada 1964.
Meski bukan sastrawan, Hario Kecik memberanikan diri untuk menulis novel. Hasilnya antara lain Liur Emas (2 jilid), Symbiosis Koruptor dan Pejabat Negara, Lesti, Si Pemburu, dan Dokter Gerilya. Bahkan hingga mendekati akhir hayatnya ia masih aktif menulis novel. Novel terakhir karyanya, ia tulis pada tahun 2013, setahun sebelum Ia wafat pada 19 Agustus 2014, tepat hari ini 6 tahun silam.
Diterlantarkan Pemerintahan Orde Baru
Pada akhir Januari 1965, Hario Kecik dikirim ke Moskow, Uni Soviet untuk belajar. Tugas belajar ke Moskow ini bukan penugasan pertama bagi Hario. Mayor Jenderal Soehario pernah dikirim belajar ke Soviet, juga ke Amerika Serikat. Sebelum dikirim ke Soviet oleh Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani, Hario pernah menjabat Panglima Kodam Mulawarman di Kalimantan. Jenderal Yani menjanjikan dia akan mendapatkan kenaikan pangkat setelah pulang dari Soviet. Hario tak tahu, penerbangan kali itu akan mengubah jalan hidupnya dan keluarganya.
Baru delapan bulan menempuh pendidikan di General Staff Academy Suworov, Hario mendengar kabar ada geger di Jakarta pada 30 September 1965. Sejumlah pimpinan Angkatan Darat, termasuk Jenderal Yani, tewas dibunuh. Badai politik di Jakarta, memporakporandakan nasib banyak warga Indonesia yang sedang belajar di Uni Soviet, termasuk Mayor Jenderal Hario dan keluarganya.
Setelah peristiwa 1965, tidak ada lagi yang menghubunginya, Kecik di sana seperti layangan putus. Bahkan ketika pendidikan militernya selesai pada tahun 1967, tak ada perintah untuk kembali ke Indonesia.
Tak boleh kembali ke tanah air membuat status kewarganegaraan Hario dan keluarganya tak jelas. Mereka akhirnya berada dalam perlindungan Komite Internasional Palang Merah. Untuk menghidupi keluarga, Hario menjadi peneliti di USSR Academy of Science.
Pada pertengahan 1970an, Menteri Luar Negeri era orde baru Adam Malik berkunjung ke Moskow. Agenda utamanya adalah menegosiasikan pembayaran utang Indonesia dengan pemerintah Soviet. Lewat Atase Militer Kolonel Soehardjo, Adam Malik meminta Hario datang ke Kedutaan. Keduanya memang sudah kenal lama, sejak Hario masih mahasiswa kedokteran di Jakarta. Saat itu, Hario mengenal Adam Malik sebagai aktivisi Murba.
Sambutan Adam Malik masih ramah seperti dulu. Dia membuka pembicaraan. “Hario, Pak Harto memberi izin kepada saya untuk menemui kamu. Saya bilang bagaimana kalau saya mengajak kamu pulang. Beliau berkata kamu tak tersangkut masalah politik. Bagaimana pendapatmu?”, ungkap Adam Malik.
Hario mengatakan, saat itu dia hanya memikirkan masa depan pendidikan anak-anaknya. “Mengapa tak menyekolahkan mereka ke Eropa?”, Adam bertanya. Hario langsung menjawab tanpa basa-basi. “Bung tentu tahu saya tak punya kemampuan dana menyekolahkan mereka ke Eropa? Tapi kalau bung bisa menjamin mereka sekolah di mana saja di Eropa atau Amerika, saya akan pulang bersama Bung.”, mendengar itu Adam Malik hanya tertawa. Sikapnya tetap santai, padahal orang-orang di sekelilingnya mulai gelisah.
Pulang Disambut Jeruji Besi
Akhirnya, pada Juni 1977, setelah lebih dari 12 tahun tinggal di Moskow, Hario dan keluarganya pulang ke Indonesia. Begitu keluar dari pintu pesawat, ternyata sudah menunggu Ali Murtopo, salah satu orang kepercayaan Presiden Soeharto kala itu. Hario langsung dikirim ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Budi Utomo, Jakarta. Tak jelas benar apa kesalahan Hario. “Dianggap anggota Partai Komunis Indonesia sih tidak. Cuma rumornya papi dianggap dekat dengan Bung Karno,” ujar Satrio, putra Hario Kecik.
Kebetulan Komandan RTM Budi Utomo kenal baik dengan Hario. “Bapak menowo sampun kesupen kaliyan kulo? (Apakah Bapak sudah lupa dengan saya?)”, Mayor Soemarno bertanya kepada Hario. Rupanya Soemarno pernah menjadi anak buahnya. Dia memperlakukan Hario dengan penuh hormat.
Beberapa hari setelah jadi penghuni RTM Budi Utomo, kemudian datang Kolonel Usman Syarief untuk menginterogasinya. “Wah, rupanya Pak Hario jadi profesor di sana? Memberi kuliah apa? Marxisme?”, Kolonel Usman memancing.
Selain berkali-kali harus melewati interogasi, Hario juga mesti menjalani tes psikologi. Di RTM Budi Utomo, dia bertemu dengan teman-teman senasib, sesama tahanan politik, seperti mantan Wakil Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Soebandrio dan mantan Panglima Angkatan Udara Marsekal Omar Dhani.
Lebih dari empat tahun Hario yang pernah mempertaruhkan nyawa untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia itu menjadi tahanan politik tanpa pernah diadili. Pada pukul 07.00 pada September 1981, bertempat di Markas Kodam Jaya, Hario bersama dua temannya sesama tahanan politik, Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra dan Rukman, menjalani upacara pelepasan dari tahanan. Jenderal Pranoto, mewakili mereka, membacakan sumpah bahwa mereka tak akan menceritakan apa yang mereka alami selama dalam tahanan. Hario bebas dengan jaminan putri sulungnya, Hera Diana. (*)