Dilema Nasionalisme


(Etno-nasionalisme dan Trans-nasionalisme) 

Oleh : Steve Rick Elson Mara, S.H., M.Han 

(Tokoh Muda Indonesia) 

Secara sederhana globalisasi diartikan sebagai intensifikasi saling keterkaitan antara masyarakat-masyarakat di seluruh dunia. Hal itu berarti bahwa dunia penuh dengan gerakan, percampuran, kontak, interaksi serta pertukaran budaya. Dunia pada masa kini menyaksikan intensitifikasi ketergantungan antara ekonomi, politik, kebudayaan, dan ekologis. Secara mendasar globalisasi membuat suatu pengaturan kembali tentang ruang dan waktu yang merupakan suatu entitas manisfestasi yang datang dari luar negeri. 

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki wilayah terluas didunia, dan salah satu karakteristiknya memiliki wilayah geografi yang terdiri dari puluhan ribu pulau besar dan kecil, dan penduduk yang mencapai 270,6 Juta. Tersusun dari berbagai etnik yang secara aktual memiliki perbedaan. Tentunya setiap daerah di Indonesia memiliki latar belakang suku dan kebudayaan yang berbeda sehingga telah menambah keunikan Indonesia ditengah arus globalisasi dunia. 

Salah satu hal yang timbul dari kemajemukan di Indonesia adalah Etno–nasionalisme. Secara sederhana, Etnonasionalisme diartikan sebagai nasionalisme kedaerahan, berarti sebuah kelompok masyarakat atau kelompok etnis yang lebih mencintai kebudayaannya dibanding dengan nilai-nilai yang berlaku secara universal di negaranya. Hal itu tentunya membawa sebuah ancaman terhadap kedaulatan negara bangsa. 

Etnonalisonalisme di Indonesia dikenal lebih dalam setelah adanya beberapa organisasi yang mengatasnakan  suatu daerah untuk kepentingan politik. Organisasi Papua Merdeka(OPM) di Papua yang merasa bahwa masyarakat Papua bukanlah Indonesia karena perbedaan Ras dan kebudayaan. Kesamaan fisik masyarakat Papua  dengan ras Melanesia membuat Nasionalisme terhadap bangsa Indonesia berkurang. Demikian hal yang sama terjadi Aceh dengan terbentuknya Gerakan Aceh Merdeka (GAM). 

Ketika visi etnik digunakan untuk memandang berbagai hal maka orang atau kelompok tertentu akan lebih cenderung untuk melihat dunia hanya melalui sudut pandang budayanya sendiri. Ini merupakan bagian dari pandangan yang dianggap rasisme. Sehingga beberapa kelompok beranggapan bahwa kebenaran akan suatu hal tidak bisa dipandang secara universal tetapi dipandang berdasarkan kebudayaan masing-masing etnis. Hal ini disebut sebagai Etnosentrisme. 

Secara sederhana etnosentrisme dapat didevinisikan paham seseorang yang menilai kebudayaan lain menurut ukuran yang berlaku pada kebudayaannya. Dalam hal ini dapat terlihat jelas bahwa etnosentrisme telah merusak semangat pluralisme dan multikulturalisme yang di bangun untuk mengikat Bhineka Tunggal Ika. 

Perubahan globalisasi yang terjadi di Era globalisasi juga mengancam kedaulatan sebuah negara, hal itu disebabkan oleh banyaknya gagasan baru yang datang dari luar negara kemudian merasuki  pemikiran masyarakatnya. Gagasan yang datang tersebut sering bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku di sebuah negara bangsa. 

Saat ini Indonesia dihadapkan dengan perkembangnya Trans-nasionalme pada generasi muda yang dikuatirkan akan merosotkan nasionalme. Penulis mengamati, masyarakat Indonesia khususnya pemuda Indonesia lebih sadar global dibandingkan sadar nasional, hal itu terbukti dengan penggunaan media sosial yang sangat tinggi serta akses terhadap dunia internasional tanpa batasan (borderless). 

Dalam penelitian yang dilakukan oleh We Are Social yang bekerjasama dengan Hootsuite, bahwa Pupolasi Indonesia saat ini mencapai 270,6 Juta jiwa, sedangkan pengguna internet di Indonesia mencapai 170 Juta. Jika dilihat dari pengguna internetnya, maka dapat dikatakan bahwa seluruh pengguna internet di Indonesia juga akses terhadap media sosial yaitu sekitar 168,7 juta. 

Jika dikaji dari jumlah pengguna media sosial tersebut, maka peluang pengaruh yang merasuki pikiran masyarakat dalam merubah nasinoalisme menjadi trans-nasionalisme dapat lebih besar. Dengan arus globalisasi yang tidak dapat dibendung, seseorang atau kelompok masyarakat dapat dengan mudah mengakses informasi dan menerapkannya. Sebagai contohnya, perkembangan jaringan terorisme generasi ketiga yaitu teroris global. Penyebaran ajaran terorisme global (ISIS) keseluruh dunia dapat diakses dengan menggunakan Internet. 

Penyebaran tersebut dilakukan oleh isis semenjak kekalahan ISIS di timur tengah sehingga jaringan ini terpecah ke beberapa negara. Jaringan ISIS yang pada pertama kali terbentuk yang merupakan jaringan sentralisasi atau terpusat di Asia timur menjadi jaringan yang terdesentralisasi atau terpecah ke beberapa daerah seperti Afrika, Timur tengah, Eropa dan Asia Timur khususnya Asia Tenggara. Menurut data yang dipaparkan mantan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu pada saat memberikan kuliah umum di Universitas Pertahanan, saat ini anggota ISIS aktif adalah 3,500 orang dan sekitar 800 orang tersebar dibeberapa negara Asia Tenggara termasuk di Indonesia. 

Jika Penggunaan Internet di Indonesia, khususnya anak muda yang masih terlihat labil dalam menerima informasi maka akan lebih mudah untuk menerima ajaran dan menerapkan ajaran terorisme yang disebar melalui internet dan media sosial, atau dapat dikategorikan terorisme pasif. 

Penulis menyebutkan ini sebagai sebuah “Dilema Nasionalisme” karena jika sebuah kebudayaan dipertahankan secara berlebihan maka akan menimbulkan Etnonasionalisme atau nasionalisme kedaerahan yang tinggi dan gejalanya adalah US VS THEM akan muncul, disisi lain jika perkembangan globalisasi dijejaki maka hal tersebut juga akan berpengaruh terhadap nasionalisme yang mengarah kepada Trans-nasionalisme bahkan melalui kemudahan teknologi informasi dan komunikasi dalam era globalisasi, masyarakat dapat mengakses informasi yang mengarah kepada konten negatif seperti mempelajari ajaran terorisme (membuat bom rakitan) hingga melakukan bom bunuh diri. 

Sebagai solusi, penulis berharap pemerintah harus terus melakukan kajian mendalam terkait pertumbuhan etno-nasionalisme dan trans-nasionalisme di Indonesia, serta memberikan pemahaman dasar bela negara kepada seluruh masyarakat Indonesia. Mengikuti perkembangan zaman, Kapal besar Indonesia  saat ini sedang melawan arus dan menantang badai sehingga semangat menjadi Indonesia harus dirajut Kembali. Serta, Bangsa Indonesia yang kita cintai ini harus membuka diri, tidak alergi dengan ancaman, tetapi menjadikan ancaman sebagai langkah awal untuk melakukan Kalibrasi terhadap setiap kebijakan yang ada. (*)

ranahpesisir

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.